HANYA UNTUK SUAMI ISTRI

Aktifitas yang satu ini hanya khusus bagi Anda berdua yang telah sah menjadi pasangan suami istri. Kegiatan ini hanya diperuntukkan bagi Anda berdua yang sudah menjalin ikrar hidup bersama dengan akad pernikahan. Rutinitas ini hanya boleh Anda berdua tekuni manakala Anda –pihak laki-laki- sudah mengucapkan, ‘Qabiltu.’ setelah wali pihak perempuan mengucapkan, ‘Ahkahtuka…dan seterusnya.
Perbuatan ini merupakan surga mahligai pernikahan. Pekerjaan ini merupakan madu bahtera perkawinan. Perbuatan ini ibarat lem yang merapatkan raga suami istri. Pekerjaan ini layaknya tambang yang menyatukan jiwa suami istri. Melalui perbuatan ini suami istri terikat kuat, melalui pekerjaan ini suami istri terjalin erat. Tanpanya tidak ada orang, laki-laki maupun wanita, yang berkenan untuk menikah, tanpanya tidak ada manusia yang bersedia membangun istana rumah tangga, tanpanya tidak ada bani Adam yang berkenan hidup berpasang-pasangan, tanpanya pernikahan yang sudah terbangun ambruk, tanpanya perkawinan yang sudah terjalin bubar dan tanpanya kehidupan Bani Adam akan punah dan tidak berkesinambungan.
Lebih dari itu aktifitas ini dalam pandangan agama termasuk sebuah bentuk ibadah yang mulia di mana suami dan istri melakukannya, di samping kenikmatan yang mereka berdua dapatkan, mereka juga meraih pahala dari Allah jika dilakukan dengan niat yang baik dan ditunjang dengan adab-adabya.
Rasulullah saw bersabda, “Wa fi budh’i ahadikum shadaqah.” Hubungan suami istri merupakan sedekah. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami menunaikan hajatnya kepada istrinya dan dia mendapatkan pahala?” Nabi saw menjawab dengan nada bertanya, “Bagaimana menurut kalian jika hajatnya itu diletakkan di jalan yang haram, bukankah dia memikul dosa? Maka sebaliknya jika dia meletakkan di jalan yang halal.” (Diriwayatkan oleh Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Ada beberapa dasar penting yang harus menjadi pertimbangan dan selalu ada dalam benak seorang muslim dan muslimah, pasangan suami istri, hal ini untuk tetap menjaga kebersamaan dan kedekatan keduanya.
Pertama, aktifitas ini bertujuan melaksanan perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw, sebagai ungkapan syukur kepada Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah saw, Allah yang telah menghalalkan kenikmatan ini dan Rasulullah saw yang telah menganjurkan umatnya untuk menjalani kehidupan yang demikian, dengan demikian seorang muslimim dan muslimah merengkuh pahala dari aktifitas halal ini.
Kedua, aktifitas ini bertujuan untuk menjaga diri suami dan diri istri sehingga keduanya tidak melongok kepada yang haram karena yang halal sudah tersedia, dorongan mereka berdua mendapatkan wadah penyaluran yang halal dan terhormat, pandangan mereka berdua terhindar dari yang tidak patut, mereka tidak lagi mengais-ngais sampah kotor dan mengendus-endus limbah najis demi mencari pemuasan dorongan diri yang lebih binal dari unta ngamuk dan lebih larat dari banteng ketaton, hal ini merupakan sarana efektif dalam meminimalkan penyebaran zina di kalangan masyarakat muslim.
Ketiga, melahirkan anak-anak dalam jumlah besar yang akan menjadi kebanggan Nabi saw di hadapan nabi-nabi lain dan umat-umat mereka, anak-anak yang akan menjadi penerus kemanusiaan meramaikan bumi secara umum dan secara khusus melanjutkan perjuangan Islam dan kaum muslimin setelah sebelumnya membentuk mereka dengan iman dan takwa.
Keempat, mewujudkan surga dunia yang melahirkan ketenangan, kemesraan, kebersamaan, kasih sayang, kesenangan dan cinta kasih di antara suami istri.
Adapun tentang ada-adab dan etika-etika aktifitas khusus suami istri ini maka ia sebagai berikut:
1- Bercumbu
Sebagai mukadimah dan pemanasan sebelum aktifitas ini dilakukan, hal ini disamping memberi kenikmatan tersendiri bagi suami dan istri, juga membantu mereka berdua meraih puncak kenikmatan dan tentu saja lebih melanggengkan kasih sayang dan cinta mereka berdua.
Tidak ada batasan dalam bercumbu ini, artinya keduanya boleh saling melakukan terhadap pasangannya, bisa dengan mengelus atau meraba atau meremas atau mencubit atau mencium atau menghisap, obyek cumbuan juga tidak terbatas, bibir atau dada atau anggota tubuh yang lainnya.
Ketika Jabir bin Abdullah menikah, Nabi saw bertanya kepadanya, “Gadis atau janda yang kamu nikahi?” Jabir menjawab, “Janda.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Mengapa kamu tidak menikahi gadis dan mendapatkan air mulutnya?” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Ini merupakan anjuran dengan bahasa halus untuk mencium bibir istri dan menghisap lidahnya sehingga air mulutnya terhisap dan istri pun boleh melakukan hal yang sama kepada suaminya dan tentu saja hal ini terjadi pada saat bercumbu.
2- Membuka
Suami boleh membuka semua pakaian istrinya atau sebaliknya, baik pada saat bercumbu atau pada saat berhubungan intim atau pada saat lain, hal ini karena di antara suami istri tidak ada batas aurat, Nabi saw pernah mandi berdua dengan Aisyah. Suami istri juga boleh saling memandang dan menikmati keindahan di antara mereka berdua melalui pandangan ke bagian tubuh mana pun tanpa batasan.
Adapun riwayat yang berkata, “Jika salah seorang di antara kamu mendatangi istrinya maka hendaknya dia menutupi bagian belakang badannya dan bagian belakang badan istrinya, janganlah keduanya bertelanjang seperti sepasang unta.” Maka riwayat ini dhaif bahkan mungkar, an-Nasa`i meriwayatkannya dalam al-Isyrah dan dia berkata, “Ini hadits mungkar.”
Jika hadits ini mungkar maka hukum masalah ini dikembalikan kepada hukum asal yaitu bahwa hal itu halal di antara suami istri. (Bersambung, insya Allah).
- Bebas bersyarat
Suami istri bebas melakukan hubungan intim kapan pun, agama tidak mematok waktu untuk aktifitas ini, masalahnya lapang dan dikembalikan kepada kedua pihak yang terlibat, selama hal itu tidak dilakukan pada saat istri sedang haid atau nifas.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, ‘Haid itu kotor, oleh sebab itu hendaknya kamu menjauhi wanita yang sedang haid dan jangan kamu mendekati mereka sehingga mereka itu suci.” (Al-Baqarah: 222).
Nabi saw menjelaskan apa yang dilakukan oleh suami pada saat istri sedang haid, “Lakukan segala sesuatu kecuali berhubungan intim.” Diriwayatkan oleh Jama’ah selain al-Bukhari.
Dan hukum nifas adalah hukum haid.
Dibolehkan juga bagi suami istri untuk berhubungan intim ketika istri sedang hamil atau menyusui, atau dia sedang hamil sekaligus menyusui. Imam Muslim meriwayatkan dari dari Judamah binti Wahab al-Asadiyah bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Aku ingin melarang ‘ghilah’ namun aku teringat orang-orang Romawi dan Persia melakukan hal itu dan tidak membahayakan anak-anak mereka.”
Ghilah adalah suami menggauli istri yang sedang menyusui dan menurut sebagian ulama, ghilah adalah suami menggauli istri yang sedang hamil sekaligus menyusui. Apapun, hal itu boleh-boleh saja.
Suami istri juga bebas berhubungan intim bagaimana pun, dengan posisi yang mereka berdua sukai, dari arah mana saja yang mereka sepakati, selama hubungan intim dilakukan pada tempatnya yaitu kemaluan.
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah: 223).
Ayat ini dilatarbelakangi oleh keyakinan orang-orang Yahudi yang mereka sebarkan di kalangan kaum muslimin, bahwa jika suami menggauli istrinya dari arah belakang, maksudnya suami berada di balik punggung istri, maka anaknya akan lahir dengan mata juling, maka Allah menurunkannya sebagai bantahan terhadap keyakinan palsu ini dan juga sebagai penetapan dihalalkannya melakukan hubungan intim dengan posisi yang diinginkan berdua.
Nabi saw bersabda, “Boleh dari depan dan dari belakang selama pada kemaluan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Suami istri tidak boleh berhubungan intim pada jalan belakang. Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak malu dalam kebenaran, jangan mendatangi istri di jalan belakangnya.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah.
Sekalipun hadits ini mempunyai sisi kelemahan dari sisi sanadnya, namun ia terdukung oleh ucapan Ibnu Abbas, “Di Hari Kiamat, Allah tidak melihat seorang laki-laki yang menggauli binatang atau seorang laki-laki yang mendatangi wanita di jalan belakangnya.” Diriwayatkan oleh an-Nasa`i. Wallahu A’lam.